Ketika Musim Panen Zaitun Tiba

Cerpen : Ketika Musim Panen Zaitun Tiba


Kring.. kring…. Terdengar dering telepon di ruangan yang sedang menyala kayu bakar di perapian. Lidah api tampak menyala merah, tetap tidak dapat melenyapkan udara dingin yang menusuk hingga tulang sumsum. Itulah yang dirasakan Intan petang ini.

Intan berjalan mendekati telepon dan mengangkatnya. Tampak dilayar monitor telepon tanpa kabel itu nomor dari Athena. Nomor telepon Aida; istri salah seorang diplomat yang bekerja di KBRI.

“Assalammu’alaikum Bu Intan,” sapa Aida dari kejauhan suaranya khas seperti biasa.
“Mu’alaikum salam,” jawab Intan dengan riang sebab petang ini anak-anaknya asyik bermain sendiri dan tidak rewel.

Setelah percakapan basi-basi, Intan mendengar dari Aida bahwa ia diminta oleh Bapak Konsuler menelepon.
“Pak Budi minta tolong saya agar bertanya pada Bu Intan, apakah Ustad Shadi Al Ayoubi bisa bantu ada orang yang mau menjadi Muallaf,” suara Aida diseberang telepon terdengar nyaring.
Shadi AlAyoubi adalah reporter Al Jazeera, teman suami Intan dan dipanggil Ustad oleh Loli dan adik-adiknya. Loli anak putri semata wayang Intan yang berusia 9 tahun.
“Waduh Bu Aida, kalau Ustad Shadi tidak punya mesjid, jadi otomatis ia tidak berwenang meng-Islamkan seseorang,” jawab Intan spontan.

“Siapa sih yang mau masuk Islam?” tanya Intan kembali dengan nada penuh ingin tahu.
“Ini ada orang Indonesia juga, mau nikah sama perempuan muslim. Perempuannya orang Indonesia juga. Saya tidak berani memutuskan apakah laki-laki itu bisa masuk Islam?” Aida kembali menjelaskan pada Intan.Aida sudah bergelar Hajjah dan ia sering mengadakan pengajian di lingkungan KBRI, sehingga ia dianggap paham tentang agama.

“Coba lah pergi menemui Ustad Munir yang berasal dari Sudan , beliau kan punya mesjid di dekat Hotel Hilton. Hanya Ustad Munir ini sangat keras, pasti ia tidak akan mau meladeni jika alasannya masuk Islam untuk mengawini perempuan muslim,” papar Intan pada Aida lagi.
“Wah kalau Ustad Munir sih, saya sudah tahu Bu Intan. Enggak bakalan deh berani kesana, pasti ditolaknya,”suara Aida menjawab diseberang telepon.

“Baiklah, kalau begitu, saya akan menelepon Ketua Perkumpulan Arab_Hellenic menanyakan hal ini. Saya akan hubungi kembali Bu Aida, setelah dapat kabar,” demikian Intan mengakhiri percakapan ditelepon dengan Aida.
Intan, lupa nomor telepon rumah Naim AlGhandour; ketua perkumpulan Arab-Yunani yang istrinya juga muallaf. Tiba-tiba ia ingat di www.islamicfinder.org ada nomor telepon kantor Islamic Center atau kantor Perkumpulan Arab-Hellenic yang otomatis merupakan mesjid.

Dengan kecepatan akses internet 54.000 kbps dengan mudah dan cepat ia mendapatkan nomor telepon mesjid yang terletak di daerah Piraeus-Athena.

Intan menelepon dan seperti biasa terdengar suara jawaban salam. Intan mengenali bahwa yang mengangkat telepon suaranya berlogat Albania . Bahasa Yunani dengan logat Albania . Ia adalah penjaga mesjid di Pireus.
Menurut pendapatnya, hanya satu orang saja yang berhak menentukan atau meng-Islam-kan seseorang. Yaitu; Mufti dari Komotini. Komotini adalah nama tempat yang terletak diwilayah utara Yunani dan berbatasan dekat dengan wilayah Turki.

Intan kenal dekat dengan Mufti dari Komotini, seorang Mufti yang bijaksana, ramah dan penyabar. Beliau sudah tua, dan suka sekali menolong siapa saja, dari suku bangsa apa saja.
Sebelum percakapan ditelepon diakhiri, penjaga mesjid tersebut juga memberi saran agar datang ke Kedubes Saudi Arabia yang letaknya dekat dengan KBRI di Athena.

Begitu telepon ditutup, Intan langsung menelepon Aida dan memberi kabar sesuai hasil pembicaraannya dengan penjaga mesjid dari Perkumpulan Arab-Hellenic. Walaupun namanya Perkumpulan Arab-Hellenic, tetapi anggota banyak dari berbagai suku bangsa lain yang ada di dunia, semua bangsa yang ingin belajar tentang Islam dan budaya Arab khususnya.

“Yah Bu Aida, tolong sampaikan ke Pak Konsuler. Bahwa hanya ada dua pilihan, bawa orang yang mau menjadi Muallaf ke Komotini bertemu Mufti atau ke Kedubes Saudi. Namun memang agak sulit, jika alasan mau menjadi muallaf adalah karena ingin menikahi perempuan muslim,” demikian Intan mengakhiri percakapannya petang itu.
Intan kembali menatap kayu yang terbakar di perapian dan sambil melihat ke jam di dinding. Ia menarik nafas dalam, dan sambil berpikir waktunya akan malam buat anak-anak harus disediakan.

Ia masih menanti suaminya yang membawa hasil panen buah zaitun ke kilang. Kemarin, mertuanya hanya mendapat 60 kilo minyak. Panen tahun ini sangat lain dengan tahun sebelumnya. Suaminya menjelaskan biasanya 8 kilo buah zaitun bisa mendapat satu kilo minyak. Tahun ini akibat panas yang menyengat bulan Juli dan Agustus lalu, maka kualitas buah zaitun menurun. 13 kilo buah zaitun hanya mendapatkan satu kilo minyak zaitun asli.



Megara, 06 Desember 2007.
Hartati Nurwijaya from Megara, Greece

Tidak ada komentar: